Langit senja itu memerah, membakar ufuk dengan warna jingga dan ungu. Aku duduk di sebuah bangku taman, melihat dedaunan bergoyang ditiup angin yang tak kelihatan. Dalam keheningan itu, sebuah kalimat terngiang dalam benak: “Manusia hidup itu hanya diperjalankan.”
Aku merenungkannya. Diperjalankan. Kata itu terasa pasif, namun mengandung kekuatan maha besar. Seperti sebuah perahu yang ditumpangi, bukanlah perahu itu yang menentukan arah angin dan arus, melainkan sang Nahkala yang menguasai laut dan langit. Selama ini, aku hidup dengan ilusi kemudi. Kukira dialah yang menentukan setiap belokan, setiap percepatan, setiap tujuan. Kupikir semua pencapaian adalah buah dari kehebatanku, semua kegagalan adalah akibat kelalaianku semata.
Aku teringat perjalanan karirku. Betapa aku membusungkan dada saat promosi datang, merasa itu adalah imbalan atas kerja keras dan kepintaranku. Aku memandang rendah mereka yang ‘tertinggal’. Namun, kini aku bertanya: bukankah kesehatan yang membantuku begadang adalah anugerah? Bukankah peluang yang terbuka adalah sebuah pintu yang diizinkan-Nya untukku sentuh? Bukankah bakat yang kumiliki adalah pinjaman yang suatu saat akan diminta kembali? Aku hanyalah seorang musafir yang diberi kekuatan untuk berjalan di jalur yang telah ditentukan.
Lalu, tentang rasa sakit. Saat kegagalan menerpa, aku memberontak. “Mengapa ini terjadi padaku? Apa kesalahanku?” Aku merasa dunia tidak adil. Tapi, jika aku benar-benar memahami bahwa aku diperjalankan, maka setiap medan terjal, setiap cuaca buruk, adalah bagian dari perjalanan. Itu bukan tentang hukuman, tapi tentang penguatan. Batu tajam yang menyakiti kakiku bukanlah siksaan, melainkan pengingat bahwa jalan ini bukan taman yang mulus, dan bahwa aku membutuhkan sepatu yang lebih kokoh, yang bernama iman dan sabar. Sang Pemilik Perjalanan tahu jalan mana yang harus kuambil untuk sampai, meski olehku jalan itu dinista.
Inilah kemudian peran kita: bersaksi. Jika kita hanya diperjalankan, maka tugas utama kita bukanlah merasa sebagai pemilik jalan, melainkan menjadi saksi yang jeli dan penuh syukur atas segala yang diperlihatkan dalam perjalanan itu.
Bersaksi akan adanya Tuhan adalah dengan mengakui bahwa setiap helaan napas adalah kuasa-Nya. Bahwa setiap detak jantung adalah irama yang diputar-Nya. Kita bersaksi bukan dengan kata-kata yang menggema di masjid atau gereja, tetapi dengan bisikan hati saat melihat seekor semut membawa beban, “Maha Besar Engkau yang mengajarinya.” Dengan desahan kagum saat menyaksikan kesabaran seorang ibu, “Maha Luhur Engkau yang menanamkan cinta itu.” Bahkan dengan air mata saat gagal, “Aku bersaksi bahwa Engkau Maha Mendengar doa-doa yang tercekat ini.”
Menjadi saksi melucuti segala pretensi kebenaran diri. Bagaimana mungkin aku merasa paling benar, paling shaleh, paling suci, jika yang kulakukan hari ini—sedekah, shalat, menolong orang—semua itu terjadi karena Dia yang menggerakkan hatiku? Jika Dia menarik anugerah-Nya, bisakah aku berbuat kebaikan sendiri? Bisakah aku bahkan menggerakkan jemariku untuk mengetik pesan kebaikan?
Seorang saksi tidak menambah atau mengurangi fakta. Ia hanya melaporkan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakannya. Maka, tugas kita adalah melaporkan dengan jujur betapa kita lemah, betapa kita butuh, betapa kita kecil di hadapan semesta yang Ia ciptakan. Kesombongan adalah ketika sang saksi berdiri di depan fakta yang agung lalu berkata, “Ini juga sebagian adalah karyaku.”
Oleh karena itu, marilah kita jalani peran ini dengan sepenuh hati. Setiap pagi, ucapkan dalam diri, “Hari ini, aku hanyalah seorang musafir yang diperjalankan. Tunjukkanlah kepadaku keindahan-Mu agar aku bisa bersyukur. Tunjukkanlah ujian-Mu agar aku bisa bersabar. Dan jadikan aku saksi yang jujur untuk-Mu.”
Dalam interaksi dengan orang lain, ingatlah bahwa mereka juga adalah musafir yang sama-sama diperjalankan. Mereka yang menyakitimu, mungkin sedang diuji dengan medan yang lebih terjal. Mereka yang membencimu, mungkin sedang tersesat dalam kabut. Bukan tugasmu untuk menghakimi perjalanan mereka, karena kau bukanlah pemilik jalan. Tugasmu adalah menjadi saksi yang baik, mungkin dengan memberinya seteguk air penghiburan, atau sekadar tersenyum sebagai penanda jalan.
Hidup ini adalah perjalanan singkat menuju sebuah kepastian. Kita tidak ditanya, “Mengapa kau tidak memilih jalan yang lebih lebar?” atau “Mengapa kau tidak berjalan lebih cepat?” Kita mungkin akan ditanya, “Selama diperjalankan, sudah seberapa baik kau menjadi saksi atas kebesaran-Ku? Sudahkah kau melihat tangan-Ku dalam setiap senja dan setiap fajarmu? Sudahkah kau akui kelemahanmu, sehingga kuasa-Ku sempurna menaungimu?”
Akhirnya, senja itu pun berlalu. Langit gelap, bintang-bintang mulai berkelip, masing-masing bersaksi tentang keberadaan sang Maha Cahaya. Aku beranjak dari bangku, meninggalkan taman. Hatiku lebih ringan. Beban untuk menjadi ‘hebat’ dan ‘benar’ sendiri telah kutinggalkan di bangku itu. Kini, yang ada hanyalah kerinduan untuk menjadi musafir yang rendah hati, dan saksi yang jujur dalam setiap langkah yang diperjalankan-Nya.
Sebab, pada akhirnya, kita tidak memiliki apa-apa kecuali kesaksian kita atas Keagungan-Nya. Dan itulah esensi menjadi makhluk.
