Ada sebuah kalimat bijak yang sering terucap dalam budaya Jawa:
"Sapa ngerti awake, bakal ngerti Gusti."
Siapa yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya.
Ungkapan ini bukan sekadar kata, tetapi jalan panjang bagi jiwa yang ingin pulang.
Dalam diri manusia, ada rahasia yang tak pernah selesai. Ada perasaan, pikiran, dan nafsu yang saling bertabrakan. Ada keinginan yang tak pernah puas, ada rasa takut yang tak pernah reda. Semua itu menjadi bagian dari perjalanan kita sebagai kawula yang sedang menuju Gusti.
Namun, tahukah kita?
Bahwa perjalanan paling jauh bukanlah dari rumah menuju tanah suci, bukan pula dari desa menuju kota.
Perjalanan terjauh adalah perjalanan ke dalam diri sendiri.
1. Menundukkan Ego, Menemukan Rasa
Dalam kehidupan orang Jawa, ada ajaran eling lan waspada – selalu ingat dan selalu waspada. Ingat kepada Sang Pencipta, waspada terhadap godaan nafsu dan tipu daya dunia.
Namun, seringkali kita lupa. Kita sibuk mencari salah orang lain, tapi tak sempat bercermin pada wajah sendiri.
Bukankah kita sering merasa lebih baik daripada tetangga yang tak rajin ke masjid?
Bukankah kita kadang beribadah bukan karena cinta, tapi karena gengsi agar disebut alim?
Belajar dalam diri berarti berani menundukkan ego.
Dalam bahasa Jawa ada istilah ngajeni liyan, ngasorake awak dewe – menghormati orang lain, dan merendahkan diri sendiri.
Bukan merendahkan harga diri, tapi merendahkan keangkuhan. Karena sejatinya, manusia tidak punya apa-apa kecuali titipan dari Allah.
"Kabeh mung titipan, ora ana sing gowo mati kejaba amal."
Semua hanya titipan, tak ada yang dibawa mati kecuali amal.
2. Sunyi yang Menghidupkan
Orang Jawa mengenal istilah tapa brata – sebuah laku prihatin untuk mendekat kepada Sang Maha Kuasa. Di zaman modern, laku prihatin bukan berarti kita harus masuk hutan atau tinggal di gunung.
Laku prihatin hari ini bisa berarti menjaga hati di tengah bising dunia.
Bagaimana caranya?
Dengan menyediakan waktu untuk sunyi.
Sunyi bukan sekadar sepi dari suara, tapi sepi dari kesombongan, sepi dari pamer, sepi dari iri.
Bayangkan, setiap malam, setelah semua orang tidur, kita duduk di sajadah, membaca tasbih pelan-pelan. Tidak ada yang tahu, hanya kita dan Allah. Di situ kita belajar arti ikhlas.
Karena hidup ini bukan soal siapa yang terlihat suci, tapi siapa yang hatinya bersih.
3. Rasa Syukur dalam Kesederhanaan
Hidup di tanah Jawa sering mengajarkan kesederhanaan. Sawah yang menghijau, suara gamelan yang lembut, dan udara pagi yang sejuk—semua itu tanda kasih sayang Allah.
Namun, banyak orang lupa bersyukur. Kita ingin rumah lebih megah, kendaraan lebih mewah, pakaian lebih indah.
Padahal Rasulullah pernah mengingatkan,
"Lihatlah orang yang di bawah kalian, jangan melihat yang di atas, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah."
Orang Jawa punya falsafah narimo ing pandum – menerima dengan lapang dada apa yang sudah menjadi bagian kita.
Bukan berarti pasrah tanpa usaha, tetapi bersyukur setelah berikhtiar.
Karena bahagia itu bukan soal berapa banyak yang kita punya, tapi seberapa dalam kita merasakan nikmat yang ada.
4. Hidup adalah Sangkan Paraning Dumadi
Orang Jawa meyakini hidup berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Itulah yang disebut sangkan paraning dumadi. Kita lahir tanpa apa-apa, dan akan kembali tanpa membawa apa-apa.
Lalu, apa yang kita kejar?
Harta? Pasti ditinggal.
Pangkat? Akan hilang.
Nama besar? Hanya tersisa di batu nisan.
Yang akan kita bawa hanyalah amal saleh dan hati yang bersih.
Maka, belajar dalam diri berarti selalu mengingat arah pulang. Setiap napas adalah langkah mendekati kematian, dan kematian bukanlah akhir, tapi pintu menuju keabadian.
5. Ngaji Rasa, Ngaji Diri
Ngaji tidak selalu berarti duduk di pengajian besar atau membaca kitab tebal.
Ngaji bisa berarti membaca hati sendiri.
Apakah hati kita penuh syukur atau keluh?
Apakah hati kita lapang atau sempit oleh iri?
Ngaji rasa berarti melatih batin agar halus.
Karena orang Jawa percaya, kesempurnaan hidup ada pada keseimbangan antara rasa, pikir, dan laku.
Kalau pikiran cerdas tapi hati keras, hidup tak akan membawa berkah.
Kalau laku banyak tapi niat kotor, amal hanya jadi beban.
6. Laku dalam Kehidupan Modern
Zaman berubah, tapi nilai tidak boleh hilang.
Hari ini kita hidup di era digital, serba cepat, serba instan. Namun, jangan sampai hati kita ikut instan.
Di media sosial, orang berlomba pamer bahagia, pamer kebaikan, bahkan pamer ibadah.
Apakah kita akan ikut arus itu?
Belajar dalam diri berarti melawan godaan riya.
Kalau sedekah, cukup Allah yang tahu. Kalau salat malam, biarkan menjadi rahasia antara kita dan Sang Maha Cinta.
Karena dalam sunyi, kita akan menemukan makna yang hilang.
7. Menuju Manusia Sejati
Orang Jawa punya cita-cita menjadi manungsa sejati – manusia yang mengerti hakikat dirinya.
Bukan sekadar pintar bicara, bukan sekadar kaya harta, tapi mampu menyatukan cipta, rasa, dan karsa dalam ridha Allah.
Untuk itu, kita harus terus belajar.
Belajar bukan hanya di sekolah, bukan hanya dari buku, tapi dari kehidupan sehari-hari. Dari sawah yang mengajarkan kesabaran, dari sungai yang mengajarkan kelapangan, dari tanah yang mengajarkan kerendahan hati.
Dan yang paling penting, belajar dari diri sendiri.
Karena musuh terbesar bukan orang lain, tapi nafsu kita.
Kalau kita bisa menaklukkan nafsu, kita akan merasakan manisnya iman.
Hidup ini singkat.
Kita hanya singgah sebentar di dunia, lalu kembali kepada Sang Pencipta.
Maka, mari kita jadikan setiap hari sebagai madrasah jiwa.
Setiap kesulitan adalah guru kesabaran.
Setiap kegagalan adalah guru keikhlasan.
Dan setiap kebahagiaan adalah guru kesyukuran.
Belajar dalam diri adalah perjalanan tak bertepi.
Perjalanan yang dimulai dengan niat, dijalani dengan sabar, dan diakhiri dengan ridha Allah.
Semoga kita termasuk golongan orang yang mampu eling lan waspada, yang hatinya tenang, yang lisannya bersih, dan yang amalnya diterima.
Karena pada akhirnya,
"Urip mung mampir ngombe."
Hidup hanyalah singgah sebentar.
Maka, mari kita singgah dengan makna.
