Menjaga Lisan: Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat


Lisan adalah anugerah Allah yang besar, tetapi juga bisa menjadi sumber bencana jika tidak dijaga. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengingatkan kita bahwa banyak orang celaka karena lisannya sendiri, bukan karena kakinya. Tersandung lidah bisa membawa petaka, sedangkan tersandung kaki masih bisa sembuh. Ini menunjukkan betapa bahayanya lisan yang tak terkendali.  

Imam Syafi’i rahimahullah memberikan nasihat bijak: sebelum berbicara, pikirkan dulu dampaknya. Jika ucapan itu membawa kebaikan, silakan diucapkan. Namun, jika berpotensi mendatangkan mudharat atau meragukan, lebih baik diam. Ini adalah prinsip dasar dalam menjaga lisan—tidak sekadar bicara asal, tetapi memastikan setiap kata bernilai manfaat.  


Bahaya Lisan yang Tak Terkendali  

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  

"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim)  


Ini adalah panduan utama dalam berbicara. Setiap kata yang keluar dari mulut kita akan dicatat oleh malaikat dan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Sebagian ulama bahkan mengatakan, seandainya kita yang membayar kertas untuk catatan malaikat, niscaya kita akan lebih banyak diam karena takut dosa.  

Lisan bisa menjadi penyebab seseorang masuk neraka. Ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), dusta, dan ucapan kotor adalah dosa besar yang sering dianggap remeh. 


Padahal, Rasulullah mengingatkan:  

"Sesungguhnya seorang hamba bisa mengucapkan satu kalimat yang membuat Allah murka, sehingga dia terjungkir ke dalam neraka." (HR. Bukhari)  


Hati dan Lisan: Siapa yang Mengendalikan?  

Orang yang berakal menjadikan hatinya sebagai pemimpin sebelum berbicara. Dia menimbang: *"Apakah ucapan ini bermanfaat? Apakah ini benar? Apakah perlu diucapkan?"* Jika tidak, dia memilih diam.  

Sebaliknya, orang yang bodoh membiarkan lisannya menguasai hati. Dia bicara tanpa pertimbangan, mengumbar kata-kata tanpa memedulikan akibatnya. Rasulullah bersabda:  

"Barangsiapa bisa menjamin untukku apa yang ada di antara dua janggutnya (lisan) dan dua pahanya (kemaluan), maka aku jamin surga untuknya." (HR. Bukhari)  

Ini menunjukkan betapa beratnya menjaga lisan dan hawa nafsu, tetapi itulah jalan menuju keselamatan.  


Belajar Diam adalah Kebijaksanaan

Diam itu emas, terutama ketika emosi menguasai diri. Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata: "Jika engkau ingin berbicara, berpikirlah dahulu. Jika ada kemaslahatan, bicaralah. Jika ragu, diamlah sampai engkau yakin."

Banyak perselisihan dan permusuhan bermula dari ucapan yang tidak terkontrol. Sebaliknya, diam bisa mencegah pertikaian dan menjaga persaudaraan.  


Kesalan di Akhirat karena Lisan

Di hari kiamat, banyak orang menyesal karena ucapan mereka di dunia. Allah berfirman:  


"Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat." (QS. Qaf: 18)  


Bayangkan jika kita dihadapkan pada catatan dosa-dosa lisan yang tak terhitung—ghibah, dusta, sumpah palsu, atau ucapan menyakiti orang lain.  


Menjaga Lisan adalah Tanda Kedewasaan Iman 

Orang yang paham agama akan sangat berhati-hati dalam berbicara. Dia tahu bahwa lisan adalah cermin iman. Jika lisannya baik, imannya kuat. Jika lisannya kotor, imannya lemah.  

Mari kita berlatih untuk:  

  1. Berpikir sebelum bicara – Tanyakan: "Apakah ini benar? Apakah perlu? Apakah bermanfaat?
  2. Memperbanyak dzikir – Ganti ucapan sia-sia dengan kalimat thayyibah.
  3. Minta perlindungan kepada Allah – Dari godaan syaitan yang selalu menghasut lewat lisan.

Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang mampu menjaga lisan, karena diam dari keburukan adalah ibadah, dan bicara dengan kebenaran adalah jihad. Aamiin.

Lebih baru Lebih lama